Metode Parenting Modern: Bukti Bahwa Hasilnya Justru Tak Lebih Baik Dibanding Pola Asuh Tradisional

Mungkin sudah waktunya kita berhenti merasa bahwa cara nenek moyang kuno, kuno juga hasilnya. Justru banyak dari mereka telah membuktikan bahwa pola a

Di era digital saat ini, istilah parenting menjadi begitu populer. Buku-buku, seminar, podcast, hingga influencer parenting bermunculan dengan berbagai teori canggih: positive parenting, gentle parenting, authoritative parenting, dan lainnya. Namun ironisnya, meskipun pengetahuan tentang cara mengasuh anak semakin melimpah, banyak orang tua zaman sekarang justru merasa kewalahan, dan anak-anak yang dibesarkan dengan metode modern ini kerap menunjukkan masalah perilaku, rendahnya toleransi terhadap stres, hingga kurangnya kemandirian.

Sementara itu, generasi orang tua dahulu – yang mengandalkan intuisi, nilai adat, dan warisan cara asuh nenek moyang – justru menghasilkan anak-anak tangguh, hormat kepada orang tua, mandiri, dan siap menghadapi kerasnya hidup. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah metode parenting modern benar-benar lebih baik, atau justru membawa kita menjauh dari nilai-nilai asuh yang sebenarnya efektif?

1. Terlalu Fokus pada Emosi Anak, Melupakan Batasan

Salah satu prinsip utama gentle parenting adalah menghargai perasaan anak, bahkan ketika anak berperilaku buruk. Anak menangis atau mengamuk? Jangan dimarahi, cukup peluk dan validasi emosinya. Sayangnya, pendekatan ini sering kali tidak disertai dengan penanaman batasan yang tegas.

Padahal dalam pola asuh tradisional, anak tetap diberi ruang untuk merasa, tapi juga diajarkan tentang disiplin dan tanggung jawab. Nenek moyang kita tidak ragu untuk menegur tegas atau bahkan memberi hukuman jika anak melakukan kesalahan serius. Tujuannya bukan menakut-nakuti, tetapi menanamkan nilai-nilai moral dan batasan sejak dini.

Kini kita melihat fenomena anak raja—anak yang terbiasa selalu dituruti, tidak bisa menerima kata “tidak”, dan tumbuh dengan ego yang rapuh. Mereka kesulitan beradaptasi di dunia nyata yang penuh penolakan dan kegagalan, karena sejak kecil tidak pernah diajarkan menghadapi konsekuensi.

2. Generasi Rentan Mental di Tengah Luapan Teori Parenting

Meningkatnya kasus gangguan mental di kalangan remaja dan anak muda menjadi indikator lain. Studi dari CDC (2021) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima remaja mengalami gejala depresi atau kecemasan. Sementara itu, banyak dari mereka dibesarkan dengan pendekatan parenting modern yang "lebih lembut" dibanding generasi sebelumnya.

Pertanyaannya: jika metode parenting sekarang lebih "baik", mengapa anak-anak justru lebih rapuh secara mental? Sementara generasi orang tua dulu, meskipun hidup dalam keterbatasan dan dididik dengan cara yang lebih keras, justru tumbuh tangguh dan penuh daya juang.

Nenek moyang kita mengajarkan anak-anaknya menghadapi realitas, bukan menghindar darinya. Mereka tidak malu meminta anak membantu pekerjaan rumah, ikut bertani, atau menjaga adik. Semua itu membentuk karakter: rasa tanggung jawab, kerja keras, dan daya tahan.

3. Pola Asuh Modern yang Menumpulkan Kemandirian

Orang tua zaman sekarang sering merasa bersalah jika anaknya kelelahan, tidak nyaman, atau menangis. Akibatnya, anak-anak jadi terlalu dilayani. Makan disuapi hingga besar, diberi gawai agar tenang, dilarang melakukan pekerjaan rumah karena takut capek.

Sebaliknya, anak-anak zaman dulu justru bangga bisa membantu orang tua. Mereka tahu cara mencuci baju, memasak nasi, atau menyapu rumah sejak usia SD. Bukan karena orang tua tidak sayang, tapi karena mereka diajarkan menjadi bagian dari keluarga, bukan tamu di rumah sendiri.

Pola asuh nenek moyang menumbuhkan rasa memiliki dan keterampilan hidup. Anak tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, dan itu tidak apa-apa. Inilah pondasi dari kemandirian sejati.

4. Ketidakkonsistenan dalam Parenting Modern

Karena metode parenting modern banyak menekankan pada pendekatan psikologis, orang tua sering kali bingung dalam menyesuaikan teori dengan praktik sehari-hari. Hari ini mencoba gentle parenting, besok frustrasi dan membentak, lusa merasa bersalah dan kembali memanjakan anak.

Pola ini menciptakan kebingungan pada anak: mana batasannya? Apakah kalau menangis akan selalu dituruti? Atau justru dibentak? Anak yang tumbuh dalam inkonsistensi cenderung bingung, manipulatif, dan tidak belajar aturan yang jelas.

Sementara nenek moyang kita lebih konsisten. Peraturan dibuat berdasarkan nilai yang diyakini keluarga dan dijalankan dengan tegas. Anak tahu mana yang boleh, mana yang tidak. Tidak ada negosiasi yang berlarut-larut.

5. Fakta Sosial: Generasi Dulu Lebih Sopan dan Beradab?

Tak bisa dipungkiri, anak-anak zaman dulu cenderung lebih sopan terhadap orang tua, guru, dan orang yang lebih tua. Mereka tahu cara duduk yang sopan, berbicara dengan hormat, dan mendahulukan orang tua. Sekarang? Kita sering melihat anak-anak berbicara kasar kepada orang tuanya sendiri, bahkan memaki ketika tidak dituruti.

Pola asuh modern yang terlalu permisif sering mengabaikan pentingnya tata krama dan hierarki sosial. Anak diperlakukan setara dengan orang dewasa dalam pengambilan keputusan, padahal secara psikologis dan emosional mereka belum siap.

6. Data dan Studi yang Mendukung Pola Tradisional

Sebuah studi dari Journal of Cross-Cultural Psychology (2014) menemukan bahwa anak-anak dari budaya kolektif yang masih memegang pola asuh tradisional cenderung memiliki hubungan keluarga yang lebih erat dan stabil dibanding anak-anak dari budaya individualistik yang menganut pola asuh modern.

Selain itu, laporan dari Harvard University menunjukkan bahwa anak-anak yang diberi tanggung jawab sejak kecil (seperti membantu pekerjaan rumah) memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk sukses secara akademik dan karier ketika dewasa.

7. Bukan Berarti Pola Tradisional Tanpa Cela

Perlu diakui, pola asuh nenek moyang pun tidak sempurna. Dalam beberapa kasus, ada yang terlalu keras, otoriter, atau bahkan mengabaikan sisi emosional anak. Namun, bukan berarti semua harus ditinggalkan. Justru perlu ada sintesis: mengambil nilai-nilai kuat dari pola asuh tradisional, lalu dipadukan dengan pemahaman modern tentang psikologi anak.

Kesimpulan: Kembali ke Akar, Bukan Terjebak Tren

Parenting bukan sekadar mengikuti teori atau tren terbaru. Ini tentang membentuk manusia seutuhnya – yang kuat secara mental, tangguh dalam menghadapi hidup, punya empati, dan tahu batasan.

Metode modern bisa membantu orang tua lebih memahami sisi emosional anak, tapi jangan sampai menghapus nilai-nilai yang dulu terbukti berhasil. Mengasuh anak bukan tentang membuatnya selalu nyaman, tapi tentang membekalinya untuk menghadapi kenyataan hidup.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti merasa bahwa cara nenek moyang kuno, kuno juga hasilnya. Justru banyak dari mereka telah membuktikan bahwa pola asuh sederhana namun tegas, penuh kasih namun jelas arahannya, adalah fondasi terbaik dalam membentuk generasi yang hebat.

Mau donasi lewat mana?

BRI - Saifullah (05680-10003-81533)

BCA Blu - Saifullah (007847464643)

Mandiri - Saifullah (1460019181044)

BSI - Saifullah (0721-5491-550)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan memberikan DONASI. Tekan tombol merah.

Penulis

Saifullah.id
PT Saifullah Digital Advantec

Posting Komentar

Tulis komentar anda di bawah ini, lalu centang Beri Tahu Saya agar mendapatkan notifikasi saat kami membalas, lalu tekan PUBLIKASIKAN