Hadi memiliki obsesi untuk menguasai kekayaan desa tersebut. Dia memanfaatkan jabatannya sebagai pendeta untuk mengelola dana sumbangan dari warga desa, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial dan pembangunan desa. Namun, Hadi dengan liciknya menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadinya. Dia membangun rumah mewah, membeli harta benda berharga, dan hidup dalam kemewahan tanpa belas kasihan terhadap kebutuhan orang lain.
Tidak hanya itu, Hadi juga memanfaatkan agama untuk menindas dan mengendalikan penduduk desa. Ia menyebarkan ajaran yang membenarkan tindak kekerasan dan penindasan terhadap siapa pun yang berani menentangnya. Mereka yang memberontak atau mempertanyakan tindakannya akan dituduh sebagai kafir atau musuh agama, dan diancam dengan hukuman berat.
Ketika seorang pemuda bernama Ali kembali ke desa setelah menempuh pendidikan di luar negeri, dia terkejut melihat betapa korupnya praktik-praktik yang dilakukan oleh Hadi atas nama agama. Ali memutuskan untuk berani menentang kezaliman tersebut dan membangkitkan kesadaran di antara penduduk desa untuk berdiri melawan tirani Hadi.
Namun, perjuangan Ali tidak mudah. Hadi menggunakan segala cara untuk menjatuhkan Ali, termasuk menyebarkan fitnah dan mencoba mempengaruhi penduduk desa agar tidak percaya pada Ali. Namun, Ali tidak gentar. Dia terus memperjuangkan kebenaran, membuka mata penduduk desa tentang kedok kejahatan Hadi yang menggunakan agama sebagai sarana untuk kepentingan pribadi.
Akhirnya, dengan dukungan dari sebagian besar penduduk desa yang menyadari kebenaran, Ali dan para pendukungnya berhasil mengungkapkan semua kejahatan Hadi di depan umum. Hadi akhirnya dijatuhkan dari jabatannya dan diusir dari desa. Penduduk desa pun mulai memulihkan diri mereka sendiri, menyadari bahwa kejahatan tidak akan pernah bisa disembunyikan di balik kedok agama. Ali menjadi pahlawan di mata mereka, membuktikan bahwa kebenaran dan keadilan selalu akan menang atas kejahatan dan penindasan, tidak peduli seberapa kuat kedoknya.