Jepang adalah salah satu negara terbaik yang menerapkan sistem zonasi. Wajib belajar di Jepang 9 tahun, yaitu 6 tahun di SD dan 3 tahun SMP.
Tidak ada kehebohan yang berarti yang terjadi pada orang tua menjelang tahun ajaran baru, karena semua anak akan diterima di sekelah negeri yang terdekat rumahnya. Tidak ada anak dan orang tua yang gigit jari karena tidak kebagian kursi sekolah.
Sistem Informasi Kependudukan sudah sangat berjalan baik. Setiap penduduk baik penduduk asli maupun pendatang akan terdata seluruh identitasnya, termasuk penghasilannya.
Sebagai pendatang, pada tahun 2017 kami dikejutkan oleh kedatangan surat dari pos yang ditujukan kepada anak kami yang berusia 6 tahun. Tertulis nama anak kami, bukan nama kami orang tuanya. Rupanya surat itu berisi informasi bahwa tahun ajaran 2017 anak kami harus sekolah di SD negeri Morinosato, kurang lebih 300 meter dari apartemen kami.
Kamipun datang ke sekolah yang dimaksud, rupanya sekolah sudah memgetahui akan kehadiran kami dari juga dari pemerintah.
Mengapa sistem zonasi tidak mengalami gejolak dan penolakan dari masyarakatnya?
Tidak saja proses belajar mengajarnya yang dibuat sama standarnya, tetapi fasilitas fisik gedungpun sama. Misalnya semua sekolah punya lapangan olah raga yang sama ukurannya, semua memiliki kolam renang, semua memiliki gedung serba guna, loker sepatu, loker tas, meja dan kursi belajar sama, papan tulis magnetik sama, WC yang sama baiknya, dsb.
Bahkan soal ulanganpun semua dibuat sama dengan kertas HVS 80 gram full warna. Anak-anak tertarik dengan gambar yang berwarna. Jarang sekali ada soal multiple choice
Jika melihat fasilitas fisik gedungnya dan juga fasilitas belajar mengajarnya, maka tidak salah Jepang menjadi negara maju karena kualitas pendidikan sangat diprioritaskan pemerintahnya.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana profesionalnya guru mengajar dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Bahan ajarnya banyak, retorika mengajarnya tidak membosankan, dan mereka kadang bekerja hingga malam untuk mempersiapkan keperluan proses belajar mengajar.
Seluruh guru memiliki kompetensi mengajar sehingga bisa dikatakan tidak ada guru yang bekerja asal asalan. Para guru itu dan juga kepala sekolah dirolling ke semua sekolah. Jadi tidak ada guru di sekolah sini bagus sedangkan di sekolah sana tidak bagus.
Orang tua tidak akan cemas melepas anaknya yang baru berusia 6 tahun berjalan kaki sejauh 1-2 km ke sekolah karena tersedia jalan khusus untuk pejalan kaki. Jika ada penyebrangan, ada lampu merah yang berfungsi dengan baik dan ditaati seluruh pengendara.
Selain alasan di atas, hal menarik yang membuat sistem zonasi berhasil di Jepang antara lain:
Mulai dari Nyugaku Shiki (penyambutan murid baru), sampai acara Sotsugyo Shiki (upacara kelulusan siswa kelas 6) semua sama prosesinya di seluruh sekolah. Termasuk kegiatan seperti Ensoku (karya wisata), Undokai (semacam pekan olah raga), Jugyo Sankan (semacam open class), Gasshuku (kelas 6 menginap di luar kota selama 2 malam), termasuk aktifitas rutin lain seperti Asanokai (apel pagi), Owarino Kai (apel sore), Soji (kegiatan bersih-bersih sekolah).
Jam masuk dan jam keluar juga semua sama, tidak ada pelajaran tambahan (les) dari guru di luar jam pelajaran. Seluruh sekolah siswanya setiap hari makan siang dan mendapat satu kotak susu segar di sekolah.
Sepertinya kegiatan PBM sudah baku sama semuanya sesuai kurikulum yang berlaku.
Setiap pagi dan sore hari biasanya di perempatan akan ada volunteer yang memakai jaket kuning membantu anak-anak menyeberang dan menjaganya. Para pengendara bermotor juga sangat menjaga dan mendahulukan anak sekolah yang menyeberang. Jadi stakeholder mendukung penuh sistem zonasi ini.
Karena program wajib belajar 9 tahun, artinya pemerintah wajib menerima seluruh calon siswa SD dan SMP bagaimanapun kondisinya. Makanya tidak heran, anak yang berkebutuhan khususpun diterima di sekolah negeri. Pemerintah menyediakan guru khusus untuk mereka.
Karena pemerintah wajib menerima semua calon siswa maka jumlah demand dan supply diperhatikan. Tidak ada anak yang tidak kebagian bangku sekolah.
Ketika kami pindah ke Jepang dan memasukkan sekolah anak yang paling besar, sekolah menerima tanpa syarat, tidak ribet, tidak diminta surat pindah, nilai raport juga tidak ditanya. Hanya mengisi formulir. Yang paling besar waktu itu diterima di kelas 4 SD dan adiknya kelas 3.
Begitupun ketika anak kami yang paling besar lulus SD. Tidak ada syarat akademik apapun untuk masuk SMP, tidam ribet dan tidak menguras emosi. Anak kelas 6 SD tidak tertekan mempersiapkan UN. Siswa baru bersaing ketat ketika memasuki SMA. Biayanyapun sudah tidak gratis lagi karena sudah tidak masuk kategori wajib belajar.
Tidak ada sekolah favorit, sekolah terakreditasi A, sekolah model, sekolah percontohan, sekolah bertaraf internasional dll. Semua sekolah sama standar mutunya. Orang tua dan siswa tidak ada yang minder atau jumawa anak nya sekolah di sekolah tertentu.
Sistem ini berhasil di Jepang karena pemerintah sudah mempersiapkan semua dengan baik. Seluruh infrastruktur sekolah dan sumber daya terintegrasi dengan sangat baik. Dan sistem ini hanya berlaku bagi SD dan SMP yang masuk kategori wajib belajar.
Menariknya, pemerintah kita mencoba menduplikasi sistem zonasi ala Jepang. Ini sebuah semangat yang sangat baik untuk menghapus image sekolah favorit. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki infrastruktur sekolah dan sumber daya manusia yang memadai? Antara demand dan supply apakah sudah seimbang? Teman teman di tanah air saat ini tentu lebih bisa menjawabnya.
Oleh : Yesi Elsandra
Tinggal di Kanazawa, Jepang.