Setelah Cincin Tersemat di Jari Manis

Setelah Cincin Tersemat di Jari Manis
4 Tahun sudah Yanti menjalin hubungan istimewa dengan Budi, seorang lelaki yang ia kenal karena 1 fakultas di tempat kuliahnya dulu. Meski awalnya tak memiliki rasa apapun, Yanti merasa trenyuh dengan kesabaran Budi dalam memperjuangkan dirinya, hingga akhirnya mereka tiba pada waktunya untuk saling mempertemukan rombongan keluarga masing-masing.

Dengan padanan baju yang indah dan gincu tebal, Yanti bersiap menyapa kehadiran Budi dan keluarganya, mereka datang dengan menyewa mobil Pak Lurah lengkap dengan supirnya. Budi tampak kikuk melihat calon istri yang bersiap menerima cincin darinya, sesekali ia mencuri-curi pandang wanita pujaan hatinya, jika ada alat perekam jantung mungkin saja irama jantung Budi akan menggambarkan irama tak beraturan.

Ritual tukar cincinpun dilaksanakan dengan sederhana, hanya kamera ponsel 5 Megapixel yang menjadi satu-satunya alat dokumentasi. Namun kebahagiaan Yanti belum lengkap, karena pihak dari calon mempelai pria hendak melakukan perhitungan Weton antara Yanti dan Budi. Meski mereka sudah mengenakan cincin, tapi mereka belum mengetahui kapan pastinya mereka menikah.

Orang tua Yanti meminta dirinya dan Budi untuk meninggalkan keluarga besar yang tengah berdiskusi tentang tanggal kelahiran dan pasarannya. Namun saat itu orang tua dari Yanti lupa akan hari pasaran anaknya. Ibunda dari Yanti saat ini adalah Ibu tiri untuk dirinya, karena Ibu kandungnya sudah meninggal 2 tahun silam dan Ayahnya menikah lagi dengan wanita yang sekarang menjadi Ibu tirinya.

“Mas, emang mesti itung2 hari po? Aku lho nggak mudeng itung-itu kayak gitu?” tanya Yanti pada Budi.

“Aku juga nggak mudeng dek, satu-satunya di keluargaku yang mudeng ya cuma simbahku itu, mbahku percaya kalau hari pernikahan memang harus dihitung.” Jawab Budi KopLakk
Ayah dari Yanti lantas mencari dokumen kelahiran anaknya, setelah membongkar lemari akhirnya ketemu juga tanggal lahir dari anak perempuannya itu. Sabtu Pahing iya Sabtu Pahing. Sedangkan Budi memiliki Pasaran Senin Pon.

Hasil Perhitungan Weton
Yanti Sabtu Pahing = Sabtu (9) + Pahing (9) = 18
Budi Senin Pon = Senin (4) + Pon (7) = 11

Konstanta Weton -9 keseluruhan jumlahnya di kurangi 9, jadi Yanti mendapat skor 9 dan Budi mendapat skor 2. Lalu perhitungan manual dilakukan oleh Kakek dari Budi yang saat itu kebetulan hadir. Dalam hati Yanti bertanya, kenapa ilmu semacam ini tidak diturunkan pada kebanyakan anak muda.

Perhitungan belum selesai Ibu Tiri dari Yanti menyela “Maaf pak nyuwun sewu, kalau nikahnya 6 bulan lagi bagaimana, biar tidak kelamaan dan tidak terlalu cepat?”

“Maaf bu, 6 bulan kemudian masuk bulan suro, tidak baik untuk melangsungkan pernikahan nanti mereka akan sering bertengkar” Jawab kakek dari pihak mempelai Pria.

Suro atau bulan muharam dianggap sebagai bulan yang tidak baik untuk melangsungkan pernikahan, maka wajar saja apabila dibulan ini persewaan tenda dan organ tunggal akan sepi job.

“Mas, padahal kalau nikah syaratnya mudah to, tinggal undang penghulu udah sah to?” tanya Yanti
“Udah dek, mau nggak mau kita harus ikuti kata mereka” Budi menanggapi dengan sabar.
“Mas Budi tahu cara ngitung Weton?”
“Wah nggak tahu dek, yang tahu ya cuma Simbahku itu, bahkan bapakku sama ibukku aja nggak tahu” Budi menjawab setelah meminum segelas teh hangat.

Perhitunganpun selesai, ditemukanlah tanggal 23 Maret yang itu artinya 2 bulan setelah lamaran. Namun pihak keluarga dari calon mempelai putri tidak setuju, karena dianggap itu terlalu cepat, keluarga juga butuh persiapan untuk semua tetek bengek pesta pernikahan anak perempuannya, karena tidak mungkin pernikahan hanya mendatangkan penghulu lalu selesai, pastinya perlu sewa tenda, organ tunggal, katering, dokumentasi dan lain-lain.

Senja datang menjelang adzan maghrib hendak berkumandang, diskusi perihal tanggal pernikahanpun terpaksa ditunda, rombongan dari keluarga Budi memutuskan untuk berdiskusi lewat SMS, berapapun hasil hitungannya nanti akan dikirim lewat SMS.

***

Yanti semakin bingung dengan adat yang tak pernah ia pelajari, ia hanya meyakini bahwa menikah itu bisa kapan saja, yang penting ada penghulu, calon, saksi dan mas kawin, lalu kesemuanya sah. Ilmu yang ia pelajari di perkuliahan dan cerita dari teman-temannya yang menikah muda ternyata tidak serumit yang ia alami. Yanti ingat pada temannya khotijah yang menikah dengan kakak kelasnya, khotijah mendatangi KUA bersama dengan pasangannya dan dilanjut pesta kecil dirumahnya tanpa hura-hura organ tunggal. Dan kini Khotijah tengah hamil 8 bulan. Pernikahan yang mulus tanpa itung-itungan tanggal pernikahan berdasarkan Weton. Ia pandangi cincin di jari manisnya, sebuah cincin tanpa pola yang menjadi bukti bahwa dirinya sudah diikat oleh Ksatria bernama Budi.

Orang tua Yanti meminta kepada Pak Dhe untuk membantu menghitung tanggal pernikahan, kabar burung dari tetangga tentang pernikahan Yanti sudah tersiar bahkan hingga ke ujung desa yang memberitakan bahwa Yanti akan segera mengakhiri masa lajangnya, padahal ia sendiri tidak bisa menjawab jika ditanya ‘kapan mau sebar undangan’.

“Nah ini 2 Mei, coba tolong kabari keluarga yang ada disana” Perintah Pak Dhe

Yanti segera mengirim SMS ke Nomor Budi tentang hasil perhitungan Pak Dhe-nya. Namun ternyata 2 Mei itu tidak di setujui oleh pihak keluarga dari Budi. Di tanggal itu akan banyak kegiatan desa yang tidak memungkinkan Budi dan keluarganya akan melangsungkan Pesta pernikahan.

Tak lama ia mendapat SMS dari Budi “Dik barusan Simbah udah itung-itungan lagi, kalau 12 Oktober Gimana?”

Yanti tak banyak bicara dan hanya menunjukkan SMS itu pada orangtua dan Pak Dhe-nya. Ibu tirinya merasa Keberatan karena terlalu lama pikirnya.

“Udah bu, ngikut aja sama mereka daripada terlalu cepat, kita juga yang repot” pinta Yanti

12 Oktober pun disepakati, masih ada 10 bulan persiapan sebelum hari H. Meski sudah disepakati Namun Yanti masih merasa bahwa tanggal itu terlalu lama baginya, ia pun terbersit keinginan untuk menikah dulu secara siri, yang penting sah dan pesta pernikahan bisa nanti-nanti. Namun hal ini ditentang oleh Ayah dari Yanti yang menginginkan setelah Ijab langsung resepsi dan selesai hari itu juga.

***

Masalah tanggal telah terlewati, kini Yanti bisa dengan sedikit sumringah mengabarkan kepada teman-teman kerja dan tetangga yang biasa menjadi pelaku bisik-bisik gosip bahwa dirinya akan menikah pada Bulan Oktober. Pertanyaan kapan nikah-pun mampu ia jawab dengan lantang.

Ohya terkait undangan belum terpikirkan, dirinya harus mencari kenalan yang sekiranya bisa membantu membuatkan desain agar biaya pernikahan bisa ditekan. Setelah melihat kontak di layar gawainya. Tedi teman semasa SMA, sepertinya ia bisa membantu membuatkan desain untuk undangan, lagipula ayahnya juga punya usaha percetakan, siapa tahu bisa sekalian mencetaknya dan mendapat harga miring pikirnya. Hanya dalam 3 hari desain sudah jadi, Yanti menerima beberapa contoh undangan yang sudah dicetak sebanyak 2 lembar, sebelum nantinya akan dicetak dalam jumlah banyak.

Pada suatu kesempatan, Yanti mencoba membawa contoh undangan itu pada Budi dan keluarganya, Budi tidak mempermasalahkan undangan itu namun Ibu dari Budi mempermasalahkan nama ibu yang tertulis dibawah nama Yanti, karena yang tertulis bukanlah nama Ibunya saat ini, melainkan Ibu kandungnya yang sudah meninggal 2 tahun silam.

Yanti berpikir bahwa memang sepatutnya mencantumkan nama ibu kandung yang melahirkannya ke dunia, dan menuliskan nama Ibu tirinya pada kolom yang ada di bagian bawah undangan tersebut. Hal ini rupanya tidak disetujui oleh sang calon mertua karena dianggap tidak etis, ingin rasanya Yanti menangis namun tak kuasa air matanya keluar. Budi masih diam tak bersuara, tak berkomentar dan berpura-pura bersikap biasa di depan Ibunya.

Keluarga besar Yanti mengadakan rapat besar untuk menentukan konsep resepsi, Yanti sendiri menginginkan konsep standing party agar tidak memerlukan banyak toples untuk menyajikan penganan, namun hal ini mendapat pertentangan dari kakeknya yang merupakan mantan Kepala desa, baginya konsep yang diajukan oleh cucunya sangat bertentangan dengan kebiasaan warga di desanya, standing party dianggap tidak cocok karena akan memaksa tamu undangan makan cemilan dengan posisi berdiri apabila tidak mendapat tempat duduk.

Kembali Yanti pandangi cincin di jari manisnya, matanya makin sayu, pikirannya makin buyar, jelas tak mungkin ia menyerah dengan keadaan rumit yang ia terima. Mas Budi lebih baik kita kawin lari saja, Sah dan tidak memicu perselisihan, ungkap Yanti dalam hati.

Mau donasi lewat mana?

BRI - Saifullah (05680-10003-81533)

BCA Blu - Saifullah (007847464643)

Mandiri - Saifullah (1460019181044)

BSI - Saifullah (0721-5491-550)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan memberikan DONASI. Tekan tombol merah.

Penulis

Saifullah.id
PT Saifullah Digital Advantec

Posting Komentar

Popular Emoji: 😊😁😅🤣🤩🥰😘😜😔😪😭😱😇🤲🙏👈👉👆👇👌👍❌✅⭐