Hidup ini berlalu begitu cepat ya, aku yang dulunya masih balita, tidak terasa sudah dewasa seperti sekarang. Namun aku masih ingat setiap detiknya selalu ada kenangan yang tak pernah luput dari ingatan. Mulai dari cerita aku dilahirkan dan tinggal disebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Hingga sekarang aku hidup di perantauan untuk menuntut ilmu dan berusaha belajar tentang kehidupan. Sebelumnya perkenalkan, namaku Saifullah. Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Aku dilahirkan di Semparuk, di rumah sakit yang jauh dari rumahku.
Sebenarnya pada saat itu kedua orang tuaku tinggal di desa Selobat, namun dikarenakan ibuku sulit untuk melahirkanku, meski sudah memanggil bidan di kampung, tetap saja tidak bisa, bahkan bidan tersebut menyarankan untuk dibawa kerumah sakit. Untuk sampai ke rumah sakit pada saat itu harus menggunakan alat transportasi air, karena pada tahun 1994 akses jalan darat masih belum ada di sana. Satu-satunya jalan untuk keluar dari desa ya dengan naik perahu yang bermesin. Singkat cerita naiklah ibuku kedalam perahu bersama bapakku dan keluarga yg lain yang mencoba untuk membantu.
Seperti yang kita tahu bahwa alat transportasi air, apalagi yang namanya sungai tidak sama dengan alat transportasi darat. Ia bergantung pada debit air dari air hujan dan pasang surut air. Kalau hujan turun maka air sungai juga akan tinggi, namun kalau tidak hujan yang ada air sungai akan kering. Nah itulah yang terjadi. Setelah beberapa kilo perjalanan sampailah k daerah sungai dangkal, dimana debit airnya sangat kecil dan untuk melewatinya harus butuh kerja sama beberapa orang yaitu pamanku untuk membuat bendungan agar perahu bisa lewat. Bendungan itu dibuat dengan menumpukkan batang kayu yg ada di pinggir sungai dan sedikit menunggu agar air menjadi naik.
Resiko jalan air ya begini, saat air kering harus membuat bendungan dan tidak jarang harus mendorong perahu melewati daerah yg dangkal. Karena sungainya ada yg di selimuti pohon-pohon sehingga dedaunan dari pohon mengendap di sungai. Untungnya pada saat itu menuju keluar desa jadi tidak terkendala sama bendungan orang lain. Kalau menuju desa bisa-bisa kendala yang lain yaitu kering akibat bendungan orang yang diatas aliran sungai. Beda lagi ketika air pasang atau setelah turun hujan, kendalanya bukan diair tapi dipepohonan. Ada beberapa bagian sungai yang di bibirnya tumbuh pohon-pohon besar, ada yang berduri, dan ada yang rantingnya menjorok ke sungai. Kendala di tengah sungai saat air meluap ya harus jaga-jaga kepala agar tidak mengenai ranting pohon, kalau sudah di dekat muara sungai biasanya banyak pohon berduri yang biasa kami sebut pohon rengas.
Setelah keluar dari anak sungai tantangan berikutnya ada di muara sungai. Di sini sungainya memang besar tapi kami harus melewati Batu Mak Jage, mungkin semua orang Sambas tahu betul apa itu Batu Mak Jage karena ada lagunya dan kisahnya. Jadi batu ini adalah batu besar yang ada di tengah sungai besar. Kebayang gak ada batu di tengah sungai besar yang notabennya sungai itu dalam. Berarti batunya luar biasa besarnya. Yang luar biasanya batu ini hanya ada disatu tempat. Cerita rakyatnya mengisahkan bahwa batu ini jadian dari seorang ibu yang kecewa karena anaknya memakan makanannya.
Di daerah dekat batu airnya sangat deras dan untuk melewatinya harus orang yang ahli dengan seluk beluk sungai. Karena bapakku pernah bilang di daerah tersebut dasar sungainya bebatuan semua, kalau salah langkah, besar kemungkinan perahu dan kipas motor air menabrak batu yang muncul di permukaan dan yang ada di dasar sungai. Di tepi sungai dekat batu tersebut ada tempat ibadah orang Cina dan patung buaya putih, dengar cerita dari orang-orang memang ada buaya putih di sungai tersebut. Singkat cerita, setelah melewati Batu Mak Jage keluargaku melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, aku masih belum bisa lahir. Kata bidannya mungkin beberapa jam lagi nanti. Lalu ibuku disuruh untuk mengejan seperti ingin kencing atau BAB dan bidannya pergi ke ruang sebelah untuk tidur. Kebetulan waktu itu malam hari. Ibuku keluar dari ranjang tidur berjalan-jalan dan berusaha melakukan yang bidan suruh, tidak lama kemudian tiba-tiba aku yang di dalam kandungan mau keluar dan ibuku berteriak memanggil bidannya. Begitu bidannya datang, kepalaku udah keluar dan ibu harus naik ke ranjang tempat tidur, karena bidannya kesulitan jadi ibuku berinisiatip untuk membaringkan badan dulu baru kemudian kaki. Bidannya sampai terkejut. Ibuku bilang mau gimana lagi soalnya bidannya bingung mau membaringkan ibu diatas tempat tidur. Setelah beberapa saat akhirnya akupun terlahir di dunia Alhamdulillah. Bapak, nenek, dan paman pun bahagia karena aku lahir dengan selamat. Yeey
Bersambung...