Burung ruai atau kuau besar (argusianus argus) adalah salah satu jenis burung yang banyak terdapat di daerah Sambas, Kalimantan Barat. Burung ini memiliki warna bulu yang indah dan suara yang lantang. Oleh orang-orang Dayak Kanayatan, bulu burung ruai dibuat mahkota (tangkulas) untuk pakaian adat. Menurut cerita, burung ruai merupakan penjelmaan seorang putri raja. Bagaimanakah kisahnya? Simak baik-baik cerita Asal Mula Burung Ruai berikut ini!
Alkisah, di pedalaman Benua Bantahan sebelah timur Kota Sekura, Ibukota Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, terdapat sebuah kerajaan milik orang-orang suku Dayak. Kerajaan itu berada di dekat Gunung Bawang dan Gunung Ruai. Raja pemimpin kerajaan itu memiliki tujuh orang putri. Namun sayang, ibu dari anak-anaknya itu meninggal dunia saat si Bungsu masih kecil.
Di antara ketujuh putri raja, anak yang paling bungsu adalah yang tercantik. Selain rupawan, si Bungsu juga memiliki budi pekerti yang luhur, rajin, suka menolong, dan taat kepada orang tua. Lain halnya dengan keenam kakaknya, perilaku mereka amat buruk. Mereka memiliki sifat angkuh, pemalas, dan suka membantah. Tidak mengherankan jika sang Ayah lebih sayang dan memanjakan si Bungsu.
Rupanya, perlakuan sang Ayah terhadap si Bungsu membuat keenam kakaknya menjadi iri hati dan benci kepada adiknya. Setiap kali sang Ayah tidak berada di istana, mereka melampiaskan kebenciannya kepada si Bungsu dengan memerintahnya sesuka hati mereka. Bahkan, mereka tidak segan-segan memukulnya. Si Bungsu menjadi takut kepada kakak-kakaknya dan terpaksa menuruti semua perintah yang diberikan kepadanya.
Suatu hari, saat sang Ayah sedang berkunjung ke negeri tetangga karena urusan kerajaan, keenam putri raja itu memukul si Bungsu hingga seluruh tubuhnya lebam. Si Bungsu yang malang itu tidak berani mengadu kepada sang Ayah karena keenam kakaknya selalu mengancamnya.
Saat hari menjelang siang, sang Ayah pun kembali dari negeri tetangga. Alangkah terkejutnya ia saat melihat tubuh putri bungsunya penuh dengan lebam. Karena curiga terhadap keenam putrinya, ia pun segera memanggil mereka untuk menghadap.
“Apa yang terjadi dengan si Bungsu? Kenapa tubuhnya lebam-lebam begitu?” tanya sang Ayah kepada keenam putrinya.
“Begini, Yah. Tadi si Bungsu terjatuh saat sedang bermain di taman,” sahut putri kedua memberi alasan.
“Benarkah begitu, Anakku?” sang Ayah balik bertanya kepada si Bungsu yang duduk si sampingnya.
Putri Bungsu hanya terdiam sambil menunduk. Sesekali ia menoleh ke arah keenam kakaknya. Putri Bungsu pun tidak berani berkata jujur kepada ayahnya karena keenam kakaknya terus memelototinya.
“Benar, Yah. Tadi aku terjatuh saat mengejar kupu-kupu di taman bunga sehingga tubuhku terbentur di pagar taman,” jawab si Bungsu lirih.
Mendengar jawaban itu, sang Ayah pun percaya begitu saja sehingga tidak memperpanjang permasalahan tersebut.
“Baiklah, kalau memang benar begitu. Lain kali, berhati-hatilah jika sedang bermain di taman!” pesan sang Ayah.
“Baik, Yah,” jawab si bungsu.
Jawaban si Bungsu itu menyelamatkan keenam kakaknya dari hukuman dari sang Ayah. Namun, pada hari-hari berikutnya mereka masih saja memperlakukan si Bungsu dengan semena-mena ketika sang Ayah sedang tidak berada di istana. Begitulah nasib yang dialami si Bungsu setiap hari. Seringkali putri yang malang itu menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
Suatu malam, si Bungsu duduk di dekat jendela kamarnya sambil memandangi bintang-bintang di langit. Si Bungsu sulit memejamkan mata karena teringat kepada ibundanya. Dalam kondisi yang dialaminya saat ini, si Bungsu amat membutuhkan perlindungan dari sosok seorang ibu.
“Seandainya ibunda masih ada, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Ibunda pasti akan selalu melindungiku,” ratap si Bungsu.
Malam semakin larut. Si Bungsu sudah mulai mengantuk dan akhirnya tertidur. Saat pagi menjelang, si Bungsu sudah bangun terlebih dahulu. Sementara keenam kakaknya masih saja bermalas-malasan di kamar masing-masing.
“Tok... Tok... Tok...!” tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, “Permisi, Tuan Putri!”
Mendengar suara ketukan pintu disusul panggilan seorang dayang istana, Putri Bungsu segera membuka pintu.
“Ada apa, wahai dayang?” tanya si Bungsu.
“Maaf, Putri! Hamba mendapat perintah dari Baginda agar semua putrinya segera berkumpul di pendapa istana sekarang. Ada sesuatu yang ingin Baginda sampaikan,” jawab dayang itu.
“Apakah keenam kakakku sudah kamu bangunkan?” tanya si Bungsu.
“Sudah, Tuan Putri! Hamba sudah berkali-kali membangunkan mereka, tapi tak seorang pun yang membukakan pintu. Barangkali mereka masih tertidur pulas,” jelas dayang itu.
“Baiklah, kalau begitu. Tolong sampaikan kepada Ayah bahwa kami segera ke sana. Biarlah aku yang membangunkan mereka,” ujar sang putri.
Setelah dayang itu pergi, si Bungsu memberanikan diri untuk membangunkan keenam kakaknya. Namun saat dibangunkan, mereka justru marah-marah karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur. Mereka baru bangun setelah sang Ayah yang membangunkan mereka karena sudah tidak sabar menunggu.
“Ada apa gerangan Ayah memanggil kami?” tanya putri yang paling sulung setelah mereka semua berkumpul di pendapa istana.
“Dengarlah, wahai putri-putriku! Ayah akan berkunjung ke kerajaan tetangga selama satu bulan karena ada urusan penting. Selama Ayah berada di sana, kekuasaan kerajaan ini Ayah limpahkan kepada si Bungsu,” jelas sang Ayah, “Untuk itu, semua perintah dan keputusan berada di tangan si Bungsu. Kalian pun harus taat dan patuh terhadap perintahnya.”
Alangkah terkejutnya keenam putri raja mendengar pernyataan itu. Iri hati dan kebencian mereka terhadap si Bungsu pun semakin menjadi-jadi. Keesokan harinya, sang Ayah pun meninggalkan istana bersama para pengawal dan prajurit.
Sepeninggal sang Ayah, si Bungsu berharap bahwa dengan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya dapat mengatasi perilaku kakak-kakaknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kakak-kakak yang licik itulah yang mengambil-alih kekuasaan istana dan semakin leluasa memperlakukan si Bungsu dengan sewenang-wenang.
Suatu hari, keenam putri raja itu berniat mencelakai si Bungsu dengan mengajaknya mencari ikan di Gua Batu. Di dalam gua itu terdapat aliran-aliran sungai kecil yang banyak ikannya. Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata di dalam gua itu juga tinggal seorang kakek yang sakti.
Saat mereka tiba di gua itu, si Bungsu pun disuruh masuk terlebih dahulu menyusuri lorong-lorong gua. Ketika ia telah jauh masuk ke dalam, justru kakak-kakaknya pergi meninggalkannya. Maka, tinggallah si Bungsu seorang diri di dalam gua. Suasana gua yang gelap gulita membuat si Bungsu tersesat. Ia pun hanya bisa menangis siang dan malam.
Setelah tujuh hari berada di dalam gua itu, tiba-tiba si Bungsu mendengar suara gemuruh yang menggelegar seolah-olah hendak meruntuhkan dinding-dinding gua. Ia pun menjerit-jerit ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang kakek tua muncul di hadapannya.
“Sedang apa kamu di sini, Cucuku?” tanya kakek itu.
Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga berada di dalam gua itu seorang diri sambil meneteskan air mata. Mendengar cerita itu, kakek itu pun merasa iba kepadanya. Dengan kesaktiannya, kakek itu mengubah setiap tetesan air mata si Bungsu menjadi telur putih yang besar dan berjumlah banyak. Selang beberapa saat kemudian, kedua tangan si Bungsu perlahan-lahan ditumbuhi bulu dan kemudian berubah menjadi sayap burung.
“Apa yang terjadi pada tanganku, Kek?” tanya si Bungsu dengan heran.
“Tenanglah, Cucuku! Kakek akan menolongmu dari kesengsaraan ini. Kamu akan kuubah menjadi seekor burung. Setelah itu, eramilah telur-telur itu hingga menetas menjadi burung-burung yang akan menjadi temanmu!” ujar kakek itu.
Setelah kakek sakti itu berdoa, seluruh tubuh si Bungsu perlahan-lahan ditumbuhi bulu-bulu yang indah. Saat si Bungsu menjelma menjadi burung, berkatalah kakek itu kepada si Bungsu.
“Cucuku, kini kamu telah menjadi burung dan kamu kuberi nama Burung Ruai.”
“Kwek... Kwek... Kwek...!!!” jawab si Bungsu dengan suara burung.
Begitu si Bungsu selesai menjawab, kakek itu pun menghilang. Burung ruai penjelmaan si Bungsu itu pun segera mengerami telur-telur itu. Setelah dierami selama 25 hari, telur-telur itu akhirnya menetas. Setelah dewasa, burung-burung ruai itu meninggalkan gua dan bertengger di atas pohon di depan istana ayahnya. Dari atas pohon itulah, si Bungsu menyaksikan keenam kakaknya dihukum oleh ayahnya karena telah mencelakai dirinya.
Demikian cerita Asal Mula Burung Ruai dari daerah Sambas, Kalimantan Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat iri hati dapat membuat seseorang melakukan tindakan semena-mena terhadap orang lain, walaupun terhadap saudara sendiri. Orang yang memiliki sifat dan perilaku jahat dan suka menganiaya orang lain pasti akan menerima balasannya. Hal ini terjadi keenam kakak si Bungsu, karena suka menganiaya si Bungsu, mereka pun mendapat hukuman dari sang Ayah.