Fenomena Sok-Sokan Parenting di Sosial Media Padahal Aslinya Bobrok: Antara Pencitraan dan Kenyataan

Sebelum menulis caption bijak dan mengunggah momen manis, tanya dulu pada diri sendiri: apakah ini untuk kebaikan anak, atau hanya demi terlihat

Di era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi panggung utama bagi banyak orang untuk menunjukkan berbagai aspek kehidupannya. 

Salah satu yang paling sering muncul di linimasa adalah konten bertema parenting atau pola asuh anak. Banyak orang tua—terutama generasi milenial—berbondong-bondong membagikan momen-momen manis bersama anak mereka, memberikan tips parenting, bahkan menyindir pola asuh orang lain. 

Tapi di balik tampilan yang serba sempurna itu, ada fenomena yang mulai mengganggu: sok-sokan parenting di sosmed, padahal kenyataan di balik layar sungguh jauh dari ideal bahkan berdasarkan keterangan tetangga mereka sangat labil.


Dunia Maya yang Terlalu Indah

Scroll saja sebentar di Instagram atau TikTok, dan kamu akan menemukan akun-akun orang tua yang seolah-olah punya kehidupan sempurna. Anak selalu rapi, rumah bersih, orang tua sabar, penuh kasih sayang, dan tak pernah marah. 

Caption mereka bijak, penuh kata-kata motivasi dan ajaran tentang bagaimana menjadi orang tua yang “healing” dan mindful. Semua tampak ideal, bahkan kadang membuat orang lain merasa “gue ngapain aja sih sebagai orang tua?”

Namun, tak jarang orang yang dikenal secara pribadi—entah teman, kerabat, atau tetangga—mengetahui sisi lain dari para konten kreator parenting ini. 

Di balik layar, mereka justru jauh dari apa yang mereka tampilkan. Anak sering dimarahi, dibiarkan bermain gadget seharian, tidak diberi waktu bermain bebas, bahkan mendapatkan tekanan berlebihan agar terlihat “sempurna” di depan kamera.


Pencitraan: Antara Niat Baik dan Eksistensi Digital

Tidak semua orang tua yang berbagi konten parenting bermaksud buruk. Banyak juga yang ingin memberi inspirasi, mendokumentasikan tumbuh kembang anak, atau berbagi pengalaman. 

Tapi ketika motivasinya bergeser menjadi soal eksistensi dan validasi digital, di situlah bahaya mulai muncul. Pencitraan menjadi prioritas utama, bahkan mengalahkan kebutuhan anak itu sendiri.

Beberapa tanda sok-sokan parenting di media sosial yang sering ditemukan antara lain:

  • Caption bijak tapi kelakuan tidak mencerminkan
    Misalnya, di caption ditulis “anak harus didengar, bukan dimarahi,” tapi di rumah si anak sering diteriaki bahkan dipermalukan hanya karena rewel saat take video.
  • Over-sharing kehidupan anak
    Anak belum bisa memilih untuk tampil di publik, tapi seluruh aspek hidupnya—dari mandi, makan, tantrum, hingga tidur—dijadikan konten demi likes dan views.
  • Menjatuhkan orang tua lain secara halus
    Ada konten yang mengarah ke body shaming, mom shaming, atau gaya sindiran seperti, “Kalau anak dikasih gadget terus, ya jangan heran jadi gak fokus.” Padahal sendiri juga memberi anak gadget hampir sepanjang hari.
  • Mengejar viralitas dengan cara instan
    Anak didandani berlebihan, dilatih berkata-kata manis yang tidak sesuai usia, atau disuruh akting demi video lucu yang bisa viral. Ini adalah bentuk eksploitasi terselubung.

Dampak Buruk bagi Anak

Yang paling dirugikan tentu saja adalah anak. Ketika orang tua lebih mementingkan citra di media sosial daripada kebutuhan emosional anak, maka anak bisa merasa tertekan. 

Anak menjadi bingung membedakan mana dunia nyata dan mana dunia konten. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang terlalu sadar kamera, merasa tidak cukup baik jika tidak tampil sempurna, bahkan kehilangan masa kecil yang autentik.

Banyak kasus anak yang tumbuh dengan gangguan kepercayaan diri karena sejak kecil dipaksa tampil, selalu dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia maya, atau menjadi korban ejekan karena konten orang tuanya viral tapi tidak layak. Belum lagi risiko keamanan karena wajah dan identitas anak tersebar luas tanpa kontrol.


Tekanan Sosial bagi Orang Tua Lain

Fenomena sok-sokan parenting juga bisa memberikan tekanan sosial bagi orang tua lain. Mereka jadi merasa minder, merasa gagal, atau merasa tidak cukup hanya karena tidak bisa seperti “orang tua online” yang terlihat selalu sabar, rapi, dan penuh waktu.

Padahal, parenting adalah proses yang sangat personal dan tidak bisa dibanding-bandingkan. Apa yang cocok untuk satu anak belum tentu cocok untuk anak lain. Dan tidak semua orang punya waktu, tenaga, dan sumber daya untuk membentuk kehidupan yang tampak sempurna di dunia maya.


Kenapa Ini Terjadi?

Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor:

  1. FOMO (Fear of Missing Out)
    Orang tua takut ketinggalan tren. Ketika banyak yang berbagi konten parenting, mereka merasa harus ikut agar tidak terlihat ketinggalan zaman.
  2. Kebutuhan akan validasi sosial
    Pujian dan likes membuat seseorang merasa dihargai. Caption “Masya Allah anaknya pintar banget ya” bisa jadi suntikan ego yang luar biasa bagi orang tua.
  3. Monetisasi
    Tak sedikit orang tua yang mulai menghasilkan uang dari konten parenting. Semakin sempurna tampilannya, semakin tinggi peluang endorse dan kerja sama brand.
  4. Kurangnya kesadaran etis
    Tidak semua orang sadar bahwa membagikan terlalu banyak tentang anak bisa melanggar privasi, atau bahkan melukai masa depan anak.

Haruskah Parenting Diunggah ke Sosmed?

Tidak ada larangan untuk membagikan kehidupan sebagai orang tua di media sosial. Tapi sebaiknya dilakukan dengan bijak dan penuh pertimbangan. Berikut beberapa tips agar konten parenting tetap sehat:

  • Pastikan anak merasa nyaman dan tidak dipaksa saat membuat konten.
  • Hindari mengekspos momen-momen pribadi yang bisa mempermalukan anak di masa depan.
  • Jangan jadikan anak sebagai sumber likes atau uang semata.
  • Tetap jujur dengan proses parenting, termasuk menunjukkan bahwa menjadi orang tua tidak selalu mudah.
  • Fokus pada manfaat konten, bukan pada validasi atau pujian.

Kesimpulan

Fenomena sok-sokan parenting di media sosial adalah refleksi dari budaya digital kita yang terlalu memuja citra dan pencapaian semu. 

Saat orang tua lebih fokus pada bagaimana mereka terlihat di mata dunia maya ketimbang pada bagaimana anak mereka tumbuh secara nyata, maka yang dirugikan bukan hanya anak, tapi juga kesehatan emosional seluruh keluarga.

Menjadi orang tua bukan tentang tampil sempurna, tapi tentang hadir sepenuh hati. Anak tidak butuh orang tua yang viral, mereka butuh orang tua yang nyata. 

Jadi, sebelum menulis caption bijak dan mengunggah momen manis, tanya dulu pada diri sendiri: apakah ini untuk kebaikan anak, atau hanya demi terlihat baik di mata dunia?

Mau donasi lewat mana?

BRI - Saifullah (05680-10003-81533)

BCA Blu - Saifullah (007847464643)

Mandiri - Saifullah (1460019181044)

BSI - Saifullah (0721-5491-550)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan memberikan DONASI. Tekan tombol merah.

Penulis

Saifullah.id
PT Saifullah Digital Advantec

Posting Komentar

Tulis komentar anda di bawah ini, lalu centang Beri Tahu Saya agar mendapatkan notifikasi saat kami membalas, lalu tekan PUBLIKASIKAN